Di Teluk Santong, sebuah desa pesisir yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kota, ada seorang pandai besi yang dikenal dengan nama Pak Saleh. Sosoknya sudah begitu lekat dengan kehidupan masyarakat setempat, bukan hanya karena keahliannya dalam menempa besi, tetapi juga karena kebijaksanaannya yang selalu terselip di setiap percakapan. Penduduk Teluk Santong kerap memanggilnya dengan penuh hormat, “Pak Saleh,” seolah-olah namanya adalah simbol dari kerja keras dan kearifan lokal.
Pak Saleh bukanlah pandai besi biasa. Di bengkel sederhananya, yang terletak di tepi desa dengan pemandangan laut yang menenangkan, ia telah menempa peralatan dari besi selama lebih dari tiga dekade. Dengan palu dan landasan yang menjadi saksi bisu setiap pukulan, besi kasar berubah menjadi alat-alat yang berguna bagi nelayan, petani, dan tukang kebun setempat. Dari pisau tajam hingga jangkar kapal, tangan Pak Saleh selalu menghadirkan produk berkualitas yang tak tertandingi.
Selain keahliannya, Pak Saleh juga dikenal sebagai orang yang bijaksana. Setiap kali ada masalah di desa, tak jarang warga datang ke bengkelnya bukan hanya untuk memperbaiki alat, tetapi juga untuk meminta nasihat. Pak Saleh selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat, memberikan kata-kata bijak yang menenangkan dan penuh makna.
Dalam kehidupan sehari-harinya, Pak Saleh selalu menunjukkan ketekunan dan ketulusan. Ia tidak pernah memandang pekerjaannya sebagai beban. Baginya, menjadi pandai besi adalah panggilan jiwa. Ia sering berkata, “Besi yang ditempa dengan kesabaran, akan menjadi alat yang kokoh. Begitu pula dengan hidup, kesabaran adalah kunci.”
Nama Pak Saleh telah menjadi bagian dari cerita Teluk Santong Rt 002 / Rw 003. Seperti lautan yang terus bergelombang, ia adalah sosok yang tangguh dan tak tergoyahkan. Di setiap dentingan palu yang menyentuh besi di bengkelnya, ada gema tentang dedikasi, kearifan, dan cinta pada pekerjaan yang menyatu dengan alam dan kehidupan di pesisir itu.